Monday, December 14, 2009

Sekolah tinggi-tinggi cuman jadi Ibu Rumah Tangga??

Komentar ini sering saya dengar sekarang, setelah pindah profesi jadi ibu rumah tangga (ibu RT) alias full time house wife (FTHW) atawa full time mom (FTM). Padahal sebenernya saya sekolah juga gak tinggi-tinggi amat sih, cuman S1. Di luar sana banyak juga kan ibu rumah tangga yang lulusan S2, bahkan S3.

Komentar lain yang sering saya dengar adalah, “Sayang ya, kerja enak-enak koq ditinggal, terus jadi di rumah aja?” Hm.. apa kerja itu selalu enak? Ah, tidak juga. Sama seperti semua profesi lainnya, apapun juga pasti ada enak dan tidak enaknya. Pekerjaan terakhir saya sebagai Engineer di sebuah oil service company memang menawarkan gaji yang lumayan plus lingkungan kerja yang menantang dan menyenangkan, tapi tetep we.. ada juga koq ga enaknya :p.

Saat bertemu dengan teman-teman orang tua komentarnya lain lagi, “Dulu kan rangking satu.. koq sekarang cuman di rumah saja?” Hihii.. kalau hanya si rangking 1 yang kerja, pasti banyaaak lowongan kerja di negara kita tercinta ini :p. Hare gene, prestasi tidak hanya diukur dengan rangking di kelas (apalagi rangking saat SD :p). Dan, seperti yang dituliskan di brosur-brosur investasi, “Kinerja saat ini dan sebelumnya tidak mencerminkan kinerja di masa datang :p”.

Intinya, saya merasa bahwa saat ini dalam masyarakat kita berkembang pemikiran bahwa wanita berpendidikan semestinya bekerja di luar rumah, mendapat penghasilan dan karier. Mungkin hal itu didorong oleh kondisi ekonomi yang semakin berat, biaya hidup dan pendidikan yang meningkat tajam sehingga keluarga dengan dua sumber penghasilanlah yang dianggap lebih ideal.

Berbeda dengan dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu. Ibu saya, yang mantan karyawan suatu bank pemerintah, pernah bercerita bahwa saat itu ibu-ibu lebih diharapkan tinggal di rumah untuk mengurus anak-anaknya. Seperti sistem keluarga di Jepang yang diidolakan, di mana para ibu total melayani anak dan suaminya di rumah, dan negara itu berhasil menjadi salah satu negara hebat setelah hancur oleh bom atom saat PD II. Dan ibu saya yang wanita bekerja (saat itu) sering mendapat pertanyaan, “Lalu anaknya siapa yang mengurus?”. Padahal kami, anak-anaknya, insya Allah baik-baik saja lo .

Hm.. dunia memang berkembang, dengan globalisasi dan sebagainya. Berbagai asumsi dan persepsi akan berubah, termasuk persepsi tentang seorang Ibu. Sebetulnya, apa sih yang membuat banyak persepsi negatif tentang ibu rumah tangga sekarang?

Apa karena asumsi bahwa ibu RT itu identik dengan penikmat sejati sinetron? Ah, tidak juga. Banyak teman saya yang (murni) ibu rumah tangga yang justru sangat selektif dengan kualitas tayangan televisi.

Apa karena ibu RT identik dengan arisan? Hm.. apa salahnya arisan? Saya pikir wajar jika beberapa kali dalam sebulan ibu-ibu meluangkan waktu untuk bercengkrama dan berinteraksi dengan orang dewasa lain, biasanya bahkan dengan membawa ‘rombongan’ balitanya.. Seorang ibu juga punya hak untuk menikmati sedikit kesenangan bukan?

Apa karena ibu RT biasanya berkonotasi doyan belanja? Mungkin beberapa. Tapi banyak yang lainnya merupakan pengelola utama keuangan keluarga yang dengan berbagai strategi finansial cerdas bisa memenuhi kebutuhan logistik keluarga.

Atau.. karena ibu RT identik dengan ke-tidak-produktifan secara finansial?

Padahal menjadi ibu rumah tangga adalah profesi yang berat. Setidaknya, itu menurut saya. Apalagi untuk ibu-ibu tanpa asisten alias maid. Bayangkan, dari subuh hingga malam harus stay tune, menyiapkan makanan untuk keluarganya, mengurus dan mendidik anak-anak, memastikan rumah nyaman, baju-baju bersih dan tersetrika, piring dan lantai bersih, tagihan rutin terbayar, kebutuhan dapur tersedia dan banyak lagi. Apalagi saat anak-anak masih sangat kecil atau sedang sakit. Pekerjaan yang tidak ada habisnya di siang hari harus ditambah dengan bergadang di malam hari.

Bagaimana jika dibalik, berapakah harga semua tugas yang dilakukan ibu RT itu jika dirupiahkan? Dan, apakah produktifitas hanya diukur secara materi? Bukankan sumbangan waktu, pikiran, dan energi yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain juga adalah hasil dari seseorang yang produktif?

Dan, apakah ada reward untuk semua pekerjaan rutin itu? Hm.. rasanya profesi ibu rumah tangga seperti IT Engineer untuk maintenance network. Saat semua baik-baik saja, itu memang seharusnya (baca: tidak ada reward), tetapi saat ada masalah baruuu… terlihat kesalahan dan ketidaksempurnaannya.

Siapakah yang menanggung beban moral paling berat saat ada masalah di rumah? Anak yang belum beres toilet training, kredit rumah belum terbayar atau suami yang sakit? Siapa yang paling pusing saat anak sulit makan, mendadak agresif atau mogok sekolah? Anda tahu jawabannya..:p.

Saya tidak mengeluh sih. Hanya, rasanya tidak adil jika profesi sebagai benteng rumah tangga, dan bertanggung jawab atas jiwa-jiwa muda yang berkembang, dengan kewajiban menyediakan rumah yang menjadi pelabuhan nyaman keluarga dilecehkan dengan kata-kata “.. cuman jadi ibu rumah tangga”.

Lagipula, menurut saya ibu RT atau bukan juga tergantung pilihan dan kesempatan. Tidak semua orang beruntung, bisa mendapat kesempatan yang sesuai dengan pilihannya. Banyaaak sekali ibu RT yang ‘terpaksa’ memilih profesinya karena berbagai keterbatasan.

Dan, percaya deh… banyak ibu RT hebat di sekeliling anda. Mungkin tidak hebat secara finansial atau karir, mungkin tidak memiliki profesi yang cemerlang. Tapi saya selalu percaya, bahwa setiap orang memiliki kehebatan dan keunikan tersendiri, apapun pilihannya.

Bagaimana menurut anda?


Ya, saya pendek

Memang, saya pendek. Saya tidak tinggi. Hanya 150 cm. Masih jauh dari rata-rata tinggi orang Indonesia yang (kabarnya) 160 cm. Walaupun pas dengan persyaratan untuk mendapatkan SIM alias Surat Ijin Mengemudi. Bisa repot saya jika sampai tidak lulus ujian SIM karena tinggi tidak memadai :p. Walaupun sampai sekarang hanya SIM A yang saya pegang, soalnya belum pede untuk mengendarai motor. Saya tidak pede kaki saya cukup panjang untuk menahan motor saat berhenti ;).

Ya, saya pendek. So what? Hal itu tidak mengganggu saya sekarang. Walaupun (hampir) setiap hari memakai high heels, bukan berarti itu karena saya tidak nyaman dengan tinggi badan saya. Tetapi karena kaki saya yang istimewa, lebih nyaman dengan high heels bertinggi minimal 5 senti hehe..


Dulu, berbelas tahun yang lalu, terutama di masa remaja, tinggi badan yang minimal itu memang sangat mengganggu. Ada masa-masa di mana saya bermimpi, alangkah indahnya andai Allah menciptakan semua manusia dengan tinggi yang sama. Manusia ditakdirkan memiliki dua tangan, dua kaki, dua mata.. mengapa tidak ditakdirkan memiliki tinggi badan yang sama? Karena keterbatasan ekonomi, waktu itu saya tidak bisa mengkonsumsi banyak susu dan vitamin yang katanya bisa meninggikan badan. Jadi saya bermimpi, bahwa suatu hari nanti para ilmuwan bisa menciptakan pil peninggi badan yang dijual bebas. Mereka telah menciptakan banyak sekali, dari obat cacing hingga obat kanker, kenapa tidak menciptakan pil peninggi badan :p.

Mungkin waktu itu saya masih di level terendah dalam hierarki kebutuhan Maslow hehe. Masih berkutat dengan kebutuhan fisik dan rasa aman, sebagai kebutuhan dasar manusia. Saat itu tingkat kehebatan buat saya adalah tinggi badan. Makin tinggi makin hebat, Itu termanifestasi juga dalam hidup sehari-hari saat itu, makanya binatang favorit saya adalah jerapah huahahaaa..

Menurut teori Maslow, manusia memiliki tingkat-tingkat kebutuhan yang memotivasi hidupnya. Kebutuhan yang paling mendasar adalah fisik, seperti makan, tidur, bernafas dan segala sesuatu yang berhubungan dengan fisik. Setelah itu adalah rasa aman. Seseorang yang merasa aman, akan merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan diri yang cukup. Seringkali, rasa aman ini terkait dengan penerimaan lingkungan terhadap diri kita.

Tidak bisa dipungkiri, sering kali penerimaan lingkungan sangat berhubungan dengan keadaan fisik seseorang. Terutama di masa remaja. Dengan bombardir iklan, sinetron, dan berbagai ajang tampil di televisi dan berbagai media lain, muncul stereotip bahwa yang lebih unggul adalah yang lebih cantik/ganteng, berkulit terang dan (tentu saja) tinggi. Bahkan iklan-iklan vitamin dan susu untuk anak juga menggambarkan bahwa anak yang lebih tinggi lebih disukai.

Makanya beberapa teman yang pendek (baca: tinggi badan sedikit di bawah rata-rata) akhirnya memiliki kekasih yang jauh lebih tinggi. Alasannya untuk perbaikan keturunan. Walaupun saya yakin, tinggi badan yang di atas rata-rata memang sangat memikat untuk kami-kami yang pas-pasan ;). Saya sendiri pernah mengalami love at first sight di masa remaja, pada seseorang yang paling tinggi di aula pertemuan tempat para mahasiswa baru berkumpul, di kampus baru saya. Rasanya waktu itu dia yang paling cemerlang di sana :p.

Dari yang pernah saya baca, wanita pendek memiliki pasangan tinggi itu biasa. Tapi pria yang lebih pendek dari pasangannya menandakan dia memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Soalnya ego pria biasanya menuntut untuk ‘lebih’ dari pasangannya, termasuk dalam hal tinggi badan. Bahkan Tom Cruise, salah satu manusia paling ganteng sejagat, kabarnya meminta Nicole Kidman untuk tidak memakai high heels saat masih menjadi istrinya. Padahal saya punya sahabat yang lebih tinggi dari suaminya dan hobi memakai high heels, tapi suaminya pede-pede saja. Mungkin rasa percaya diri suaminya ini lebih tinggi dari Tom Cruise ;).

Saya sendiri sekarang pede-pede saja dengan tinggi badan. Walaupun hobi memakai high heels, toh saya nyaman juga memakai sendal crocs yang datar. Rasanya setelah menjadi dewasa, dan memiliki makin banyak masalah untuk dipikirkan, tinggi badan hanya satu masalah kecil yang bisa diabaikan :p. Apalagi setelah berkeluarga, dan punya anak.. waaah.. anak yang tidak doyan makan atau mogok sekolah buat saya menjadi masalah yang jauh lebih besar daripada sekedar tinggi badan hahaa.. Menjadi dewasa memang menyenangkan :p.

Tentu saja, saya tetap ingin anak-anak saya memiliki pertumbuhan badan yang optimal. Walaupun ibunya pendek, kalau bisa anak-anak saya memiliki minimal tinggi badan yang normal. Anehnya mereka tidak doyan minum susu. Wah, itu peer besar buat saya. Saat si sulung mogok minum susu, selama dua tahun lebih saya selalu berusaha membujuknya dengan segala cara sampai akhirnya (alhamdulillah) dia kembali menyukai susu. Si bungsu sebelumnya sangat suka susu, ASI, sampai disapih di usia dua tahun. Setelah disapih, mulailah perjuangan saya untuk membuat si bungsu menyukai susu kotak/formula, dan masih belum berhasil nih.

Suami saya selalu berkata, “Kenapa harus tinggi sih? Jusuf Kalla dan Habibie juga pendek, tapi lihat kontribusinya kepada bangsa dan negara?” setiap kali melihat saya mulai ‘memaksakan’ susu pada anak-anak. Iya sih, kalau dipikir-pikir, manusia yang paling hebat adalah manusia yang paling bermanfaat untuk sesamanya, tidak masalah dengan tinggi badannya. Adalah tidak adil dan agak berbau rasis jika manusia dipilah-pilah berdasarkan struktur fisik tubuhnya. Wong tinggi badan itu karunia Allah yang tidak bisa dirubah lagi koq.

Lagipula saya yakin, kualitas seorang manusia tidak terbatas dari tinggi badannya. Setiap manusia pasti memiliki keunikan dan keunggulan tertentu. Kualitas tersebut bukan hanya dari fisik yang terlihat mata, tapi juga kecerdasan otak dan logika, keahlian dalam berolahraga atau memasak, kemampuan dalam bidang musik, bahasa, hubungan antar manusia, mengenali diri sendiri, hingga kejujuran, integritas dan kebersihan hati.

Pemikiran itu tidak menghentikan saya untuk tetap berusaha membuat anak-anak meminum susu mereka, dan menyediakan supplemen kalsium saat mereka ogah minum susu. Namanya juga ikhtiar. Hanya saya berusaha untuk selalu meluruskan niat, yaitu agar anak-anak saya selalu mendapat asupan kalori, gizi, vitamin dan mineral yang cukup, yang merupakan kewajiban saya sebagai ibu mereka. Bukan agar mereka menjadi anak-anak yang tinggi. Biar saya serahkan kepada waktu, bagaimana tinggi mereka nanti.

Peer yang lebih besar buat saya adalah membangun percaya diri mereka. Tinggi atau pendek, saya ingin mereka menjadi anak-anak dengan percaya diri yang kuat, hati yang bersih, berintegritas dan bermanfaat bagi diri mereka, keluarga dan lingkungan kelak. Doakan ya, semoga berhasil :).


buat ibu-ibu mothercare..
that's what i've got from our last meeting..
love you moms, keep sharing :)

Friday, October 16, 2009

Jangan Injak Gas Terlalu Dalam

Salah satu hal unik di kompleks tempat tinggal saya adalah batas kecepatan maksimal untuk kendaraan bermotor. Di jalan-jalan utama kompleks kecepatan maksimalnya adalah 40 km/jam, sementara di kawasan perumahan adalah 30 km/jam. Peraturan ini ditegakkan dengan ketat, bahkan secara rutin ada razia yang dilakukan Security kompleks ini, untuk memastikan batas kecepatan dan berbagai aturan berkendaraan seperti penggunaan helm untuk sepeda motor, adanya SIM dll.

Awalnya, tidak mudah bagi saya untuk mengikuti aturan kecepatan tersebut. Apalagi saat saya harus menyetir 30 km sekali jalan dari kantor ke rumah dan sebaliknya. Berkendara di jalan yang sepi dan beraspal mulus, rasanya suliiit sekali untuk mematuhi batas kecepatan. Keinginan untuk cepat sampai di rumah biasanya membuat saya tergoda untuk menginjak gas dalam-dalam :p.

Setelah 5 tahun tinggal di Duri, saya makin terbiasa mengikuti aturan berlalu-lintas. Apalagi setelah sempat terkena razia satpam :p. Walaupun begitu, saya mengikuti aturan bukan karena takut terkena razia lo:p. Buat saya, aturan kecepatan sebenernya adalah kesempatan untuk belajar menahan diri. Belajar untuk hidup lebih tenang dan tidak terburu-buru. Kadang-kadang saya lupa, bahwa makin dalam gas saya injak sesungguhnya hanya memberi 5 menit tambahan.

Saya jadi terbiasa untuk selalu mengecek spedometer setiap kali menyetir. Rasanya sudah satu paket, tiap beberapa detik saya selalu menengok spedometer dan tiga spion. Aturan yang ketat di kompleks juga membuat saya (lebih) terbiasa untuk mengikuti rambu-rambu lalu lintas *kabarnya jumlah rambu di kompleks rumah saya lebih banyak dari jumlah seluruh rambu di kota kecil ini :p *.

Bukankah itu latihan? Latihan dalam kehidupan setiap hari. Tidakkah dalam hidup kita juga harus senantiasa mengikuti rambu? Rambu agama, etika, adat istiadat, rambu penerimaan oleh orang lain, bahkan rambu yang sangat halus berupa kata hati kita? Hm.. walaupun Indonesia sudah merdeka sejak 1945, walaupun liberte’ sudah diteriakkan sejak Revolusi Prancis ratusan tahun lalu, kebebasan seseorang akan selalu dibatasi oleh aturan dan manusia lainnya.

Saya juga bersyukur karena (hampir) selalu teringat untuk menengok spedometer setiap kali menyetir. Saya berusaha agar angka yang ditunjukkan maksimal satu garis di bawah 40, ada atau tidak ada razia :p. Mudah-mudahan hal itu merupakan latihan untuk belajar menahan diri dan selalu intropeksi. Menahan diri dari berbagai emosi yang kadang meluap, menahan diri untuk tidak selalu mengikuti keinginan, menahan diri untuk menjaga perasaan orang lain, menahan diri untuk tujuan yang lebih besar.

Apakah hati ini bisa menjadi spedometer hidup saya? Andaikan hati adalah spedometer, yang memberi informasi seberapa jauh saya mengikuti aturan-Nya. Mungkin hati harus sangat bersih dan putih, harus sangat ikhlas dan lapang, sehingga dapat selalu menuntun perilaku yang benar. Atau saya yang terlalu sering mengabaikan hati saya saat dia memberi peringatan, seperti saya mengabaikan spedometer saat berkendara di luar kompleks?

Akan jauh lebih sederhana jika aturan dalam hidup hanya sebatas maksimal 40 km/jam dan mengikuti rambu setiap seratus meter. Pada kenyataannya, beberapa jam/menit perhari yang saya habiskan dengan menyetir, baru melatih refleks kaki dan mata saya. Tidak pernah lagi saya menginjak gas dalam-dalam *kecuali saat menyetir di luar kompleks :p*.

Kenyataannya, hidup tidak sesederhana itu. Andaikan emosi dan hawa nafsu adalah pedal gas dalam bentuk cita-cita, ego, harga diri, ambisi dan membuat hidup kita makin berwarna, keseimbangan hidup adalah rem nya. Mungkin benar kata orang,”Jangan injak gas terlalu dalam!”. Safety first :p.

Friday, August 28, 2009

Srigala dalam diri

Ini cerita seorang pria untuk cucunya: "Di dalam diriku sering kali terjadi pertarungan dahsyat dua srigala. Srigala pertama sangat buas, penuh amarah, iri, penyesalan, tamak, merasa sengsara, sekaligus merasa sombong. Srigala kedua baik sekali, penuh cinta, bahagia, damai, dan harapan, rela memaafkan diri sendiri dan orang lain".

Pertanyaan cucunya, "Lalu srigala mana yang menang?"
Jawab pria tersebut, "Srigala yang aku beri makan."

Cerita di atas terngiang-ngiang di kepala saya, sejak membacanya sebagai kutipan di Femina edisi Agustus 2009. Rasanya cerita ini menggambarkan dengan tepat apa yang saya rasakan Ramadhan ini.

Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk introspeksi diri. Indahnya berpuasa, saat sepanjang hari kita dipaksa untuk mengenali dan mengendalikan rasa lapar, dahaga dan kantuk. Saat puasa bukan hanya lapar dan dahaga, dapatkah kita mengenali dan mengendalikan srigala buas dalam diri kita?

Kadang-kadang hidup berjalan dalam alur yang membingungkan. Ada kalanya saya merasa gelap dan sempit, dan keresahan berbelit dalam pikiran. Apakah itu berarti pertempuran sedang berlangsung? Srigala mana yang akan menang?

Akankah srigala buas dalam diri kita yang menang? Saat ego membakar amarah, iri membuahkan penyesalan, sombong melahirkan ketamakan, hanya rasa sengsara yang tersisa. Dalam kekhilafan, kebodohan dan ketidak sadaran diri, mungkin sering sekali kita terjebak, memberi makan si srigala buas ini sehingga makin kuat dan makin membutakan diri kita. Naudzubillah.

Rindu diri ini untuk memenangkan srigala yang damai dan penuh cinta, yang ikhlas dan rela memaafkan diri sendiri dan orang lain, hidup dalam bahagia dan harapan. Dapatkah saya memberi makan si srigala baik ini, dengan semua cinta dan emosi positif? Rindu hati ini dalam ketenangan dan kebahagian, saat keikhlasan bersinar menyinari hati.

"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya." (QS Al Fajr 27-28).

Semoga rahmat Ramadhan menenangkan jiwa dan memuaskan hati.. dan mengalahkan srigala buas dalam diri kita..

Saturday, March 28, 2009

Kishan masuk RS

Senin 16 Maret 2009 malam rasanya adalah malam terpanjang dalam hidup saya. Saat itu saya berada di Emergency Room, Medical Duri, memangku Kishan yang dalam keadaan 'fly' dan muntah-muntah. Mukanya pucat, dan terus terbaring dalam tidur yang tidak tenang. Setiap kali bergerak dia menangis dan mengeluh kepalanya sakit. Sedikit guncangan atau perpindahan posisi akan membuatnya muntah. Masker oksigen terpasang di wajahnya...

Anda yang pernah memiliki anak di rumah sakit, pasti tahu perasaan saya saat itu. Sedih, cemas, bingung, agak panik.. itu yang saya rasakan saat menungguinya. Saat itu, seakan semua masalah yang lain tidak penting, hanya ruang emergency itu yang nyata.

Senin jam 2 siang kepala bagian belakangnya terbentur keras saat dia bermain dengan Zaka. Setelah terbentur Kishan sempat menangis sebentar, terus tertidur dan bangun hanya untuk muntah. Sesorean itu dia hanya tidur dan sangat lemas.. hilang semua kelincahannya, kehebohan dan keberisikannya. Responnya juga lambat.. saat ditanya apapun dia hanya memandang dengan nanar dan tidak fokus. Sedikit saja gerakan membuatnya muntah, dan menangis sambil berkata kepalanya sakit.. duh.. :-(.

Saya bawa ke emergency jam 4 sore, alhamdulillah langsung diperiksa dokter dan ditangani dengan baik di sana. Selama 8 jam di ruang emergency, Kishan diobservasi, diberi selang/masker oksigen yang harus saya pegangi terus sedekat mungkin dengan wajahnya (karena dia marah bila selang/masker itu menempel di wajahnya). Selama itu tak lepas zikir saya lafalkan, hati saya kuatkan.. untuk belajar ikhlas dan memohon pertolongan Allah..

Bukankah anak adalah amanah yang sangat indah, dan berat? Di saat seperti itu, saya sadar betapa beruntungnya saya selama ini. Hari-hari yang saya lewati, dengan segala kelincahan dan keberisikan, tawa dan canda, tangis dan teriakan, nyanyian dan obrolan dengan anak-anak adalah nikmat yang sangaaat berharga yang sering tidak saya sadari. Malam itu hati saya berat, menyadari betapa sering saya tidak bersyukur atas kemurahan-Nya.. Betapa saya adalah mahluk sangat lemah, yang tidak dapat berbuat apapun saat sepotong hati saya terbaring di ranjang emergency..

Anak adalah titipan. Apakah selama ini saya menyadarinya? Apakah saya cukup bersyukur, mendapat titipan yang menyenangkan hati, yang mencerahkan dan mewarnai hari-hari.. apakah dada saya akan cukup lapang untuk menyadari bahwa anak-anak bukanlah milik saya? Astagfirullah.

Malam itu sangat spiritual untuk saya. Sebagai seorang ibu saya selalu berusaha melindungi anak-anak saya, menjaga mereka, memastikan mereka mendapat makanan yang sehat, hangat dan nyaman, tidur tepat waktu, melakukan aktifitas yang positif dan berbagai hal yang biasa dilakukan oleh seorang ibu. Semua hal tersebut menjadi rutin, kebiasaan yang saya jalani setiap hari. Saya sering lupa, betapa beruntungnya saya dengan rumah yang berwarna dan ceria oleh tawa dan tangis anak-anak. Saya menyesal, sering khilaf dengan marah dan emosi, saat perilaku anak-anak tidak sesuai dengan yang saya inginkan... saya tersadar, bahwa saya hanyalah ibu, tanpa kemampuan untuk menggenggam hidup anak saya di tangan saya...

Jam 12 malam akhirnya Kishan dipindahkan ke ruang rawat inap. Masih dalam keadaan 'fly' dan lemah, walaupun muntahnya sudah berkurang. Bahkan saat lengannya disuntik untuk diinfus pun dia 'pasrah'.. *ibu kangen jeritanmu saat disuntik, Nak*. Alhamdulillah akhirnya saya pun dapat berbaring sejenak sambil tetap memegangi masker oksigen Kishan. Total jendral malam itu saya hanya tidur 1 jam.

Saat pagi datang, dan waktunya untuk mandi dan sarapan Kishan tetap tidur. Para perawat menganjurkan agar saya tidak membangunkan Kishan. Saya tunggu.. dan tunggu dia bangun sambil menatap wajahnya yang mungil. Duh.. betapa saya mencintainya...

Ketika dokter visit, dia belum juga bangun. Dokter memeriksanya dan berkata bahwa jika Kishan muntah lagi hari ini, kami akan langsung dikirim ke Pekanbaru untuk CT Scan. Pagi ini jadwalnya adalah x-ray.

Jam 8 pagi akhirnya dia membuka matanya. Plong hati saya rasanya saat dia tersenyum dan senyum saya makin lebar saat dia berteriak "lapaaaaar!". Alhamdulillah, kamu sudah kembali, Nak :p. Hari itu rasanya saya ingin selalu tersenyum. Memandang Kishan yang kembali lincah dan jail, walaupun sebelah lengannya terikat pada infus. Matanya masih sembab, dia masih lebih suka berbaring daripada duduk. Tapi responnya sudah sangat membaik, dan tidak lagi mengeluh kepalanya sakit.. alhamdulillah.

Nafsu makannya juga sudah kembali. Kotor seluruh ranjangnya pagi itu, karena dia makan telur rebus sendiri. Terharu saya melihat kemandiriannya mengupas telur, dan saat tangannya menyendok sambil terus berceloteh. Subhanallah.. teringat saya di malam sebelumnya saat responnya mengkhawatirkan. Terima kasih Tuhan..

Di siang hari dia makin bawel. Bahkan dipanggil-panggilnya Dokter karena ingin pulang ke rumah :p. Walaupun kondisinya baik, ternyata dia masih harus dipantau karena masa krisisnya 2 hari.

Hingga hari berikutnya, kondisi Kishan makin baik *a.ka makin heboh*. Dia ribut mencari mainannya dan memesan agar dibawakan lego dari rumah. Selama di rumah sakit juga nafsu makannya cukup baik, dan responnya semakin lama semakin baik. Hasil x-ray nya juga baik. Akhirnya di hari Kamis kami diperbolehkan pulang kembali, dengan setumpuk nasihat agar saya memperhatikan dengan teliti kondisinya hingga 2 minggu ke depan.

Alhamdulillah... saat ini sudah lebih dari 1 minggu, dan Kishan tetap lincah dan berisik. Walaupun saya jadi rada paranoid, dan tidak ingin jauh-jauh darinya lagi. Mudah-mudahan Allah senantiasa melindungimu, Nak..

Sunday, January 18, 2009

Caleg

Liburan kali ini, sepanjang jalan di berbagai kota di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah saya melihat banyak sekali spanduk bergambar foto-foto caleg dari banyak partai. Foto-foto itu terpampang dengan janji-janji tiap kandidat. Berbagai wajah dalam ekspresi cerah dan 'dapat diandalkan', dari artis hingga komedian, dari pejabat tinggi hingga wajah baru yang mendadak jadi familiar mengingatkan akan banyaknya partai dan caleg yang bisa dipilih. Saya jadi merasa seakan disajikan iklan berbagai produk janji dengan kemasan yang berbeda :p.

Banyaknya poster tersebut membuat saya berpikir, bahwa pasti tidak sedikit biaya yang dikeluarkan tiap kandidat caleg untuk membiayai kampanyenya. Untuk brosur dan spanduk saja, misalnya, pasti butuh berjuta-juta rupiah untuk ongkos cetaknya. Belum lagi transport, biaya promosi, honor tim sukses, pulsa hp, biaya melobi dan (pasti) banyak pos lainnya. Mudah-mudahan besarnya biaya yang dikeluarkan itu tidak menjadi 'hutang' yang harus dibayar kandidat (jika) dia terpilih nantinya.

Pemilihan langsung memang membuat para caleg harus memasarkan diri agar dikenal. Sistem suara terbanyak dan sangat kompleksnya masyarakat kita membuat para caleg itu harus mempromosikan diri dengan segala cara, bagaikan produk yang ditawarkan untuk dibeli.

Efektifkan biaya yang dikeluarkan itu? Hem, saya tidak tahu. Yang saya pikirkan malah kualitas janji para caleg tersebut, visi dan misi mereka. Bagaimana mungkin para caleg tersebut mencintai bumi dan mengusung program bernuansa lingkungan, jika dengan semena-mena poster mereka merusak pohon-pohon dan trotoar. Bagaimana saya percaya bahwa mereka akan taat dan menepati janji saat kampanye, jika poster-poster tersebut ditempel secara asal di sembarang tempat, dari tiang listrik hingga baliho raksasa, saling bertumpuk tanpa mempedulikan estetika. Bagaimana saya percaya bahwa slogan-slogan manis seperti 'peduli terhadap rakyat', 'pendidikan murah', 'perubahan' dan lain-lain akan terwujud jika slogan hanya sekedar slogan, tanpa program yang jelas dan terencana.

Pemilihan langsung dengan sistem suara terbanyak memang lebih baik dari, katakanlah, jaman orde baru dulu. Paling tidak sekarang kita tahu siapa yang kita pilih. Paling tidak kita 'kenal' dengan wajah anggota legistatif kita. Di masa lalu, rakyat hanyalah penonton buta yang tidak tau siapa yang duduk di dewan. Rakyat hanyalah sekumpulan suara yang menempatkan istri, anak, dan banyak kerabat pejabat menjadi anggota dewan yang terhormat, tanpa seleksi memadai atas kemampuannya.

Saya pribadi ingin suara saya diwakili oleh calon yang cerdas dan berwawasan luas, yang bisa memberikan solusi atas berbagai masalah rakyat. Bukan hanya masalah klise, ekonomi dan lapangan kerja, tapi juga masalah yang sangat mendasar: pangan, air dan energi. Bumi kita sudah sangat lelah memenuhi kebutuhan kita. Kerusakan lingkungan sudah sangat parah, krisis air, pangan dan energi terjadi di berbagai tempat di negara kita. Sudah saatnya kita punya pemimpin yang peduli, dan mencintai lingkungan.

Saya mendambakan pemimpin yang memegang kuat prinsip yang benar. Saat semua hal berbaur menjadi abu-abu, saya ingin suara saya menguatkan pemimpin yang bisa memilih untuk membiasakan berbuat BENAR, dan bukan membenarkan yang BIASA.

Saya merindukan pemimpin yang mencintai rakyatnya, yang meletakkan kepentingan pribadi dan partai di bawah kepentingan rakyat yang lebih luas. Yang tidak silau oleh megahnya apartment, mengkilapnya mobil mewah dan banyaknya angka nol di rekening. Adakah caleg yang tidak tergiur oleh jalan-jalan ke eropa, oleh baju, tas dan sepatu bermerk terkenal berharga jutaan, oleh kekuasaan dan status 'wakil rakyat' nya?

Saya hanya bisa berharap, agar wajah-wajah yang terpampang itu menyadari, betapa beratnya menyandang amanah ratusan ribu hingga jutaan pemilih. Dan bahwa amanah tersebut merupakan bebannya di hari keadilan nanti.

Semoga caleg yang terpilih benar-benar manusia yang berkualitas tinggi yang mempu mengemban amanah yang berat ini. Kami butuh bukti, bukan sekedar janji..

*picture from metrotvnews.com*

Saturday, January 17, 2009

Tujuh Taun

12 Januari 2009
Tujuh taun yang lalu saya dan suami mengucapkan ijab kabul di depan penghulu. Waktu itu semua orang bilang bahwa pengantennya tersenyum terus. Bener juga sih, senyum itu untuk menyembunyikan maluuu.. huahahaa... Asli, saya mah malu jadi 'pusat perhatian' seharian.. Rasanya apapun yang saya lakukan selalu dapat komentar orang, walaupun biasanya orang bilang, "Cantik... " hua haa.. geer pisan.

Tiga hari setelah menikah, kami langsung melakukan perjalanan darat lintas sumatra ke Pekanbaru. Ya, saya langsung diboyong suami. Inget banget, waktu itu dana kita pas-pasan karena tabungan habis untuk persiapan merit.. kartu kredit pun udah sampe limit. Alhamdulillah kita sampai di Rumbai dengan selamat, dengan sisa 200 ribu rupiah di dompet, dan gajian masih dua minggu lagi! Untung tinggal di camp, makan transport dan cuci gratis.. bahkan 200 ribu itu bertahan sampai hari gajian!

Sepuluh bulan kita habiskan di kamar kecil di Rumbai. Masa-masa yang santai.. bener-bener pacaran kayaknya, setelah dua taun lebih pacaran jarak jauh heheh. Setiap pagi sarapan di messhall bareng temen-temen, lalu saya ngantor jalan kaki. Baru ketemu suami di sore hari dan makan malem bareng. Waktu itu saya baru tau bahwa suami saya sporthacolic dan tv-holic! Kita habiskan waktu juga untuk baca novel ya Say. Ingat seri Naga Sastro Sabuk Inten dan Mahesa Jenar :p?

Menjelang kelahiran Zaka kami pindah ke Minas.. ke rumah kecil dengan hutan di halaman belakang. Awalnya kaget dengan monyet-monyet dan biawak yang sering bertandang, juga rombongan babi yang sering mampir.. lama-lama jadi temenan deh :p. Zaka yang bersemangat lahir di Rumbai, tangisnya 'mengguncang dunia' :p. Setelah anak pertama lahir saya baru tau bahwa si ayah ternyata sangat 'ahli' dan pede menangani bayi baru (dan ibunya). Bahkan dia yang memandikan Zaka sampai 40 hari pertama, sebelum saya pede melakukannya.

1,5 tahun berikutnya kami pindah lagi ke rumah kontrakan di Rumbai. Rumah kecil segede upil, fasilitas dari kantor saya dulu. Alhamdulilah, akhirnya saya ga perlu menyetir 30 km sekali jalan dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Zaka tumbuh gendut dan lucu, membanggakan ortunya. Doyan makan dan minum susu, doyan ngobrol dan suka becanda.. Saya jadi tau bahwa si ayah yang jadi full senyum kalo ama anak adalah teman main favorit Zaka.

Beberapa bulan kemudian pindah lagi, ke rumah beneran, hasil desain kita berdua. Walaupun ketemu ayah hanya saat weekend, karena Ayah mandah di Duri, sangat menyenangkan tinggal di rumah sendiri.

Akhirnya kami pindah ke Duri sampai sekarang. Kishan yang lincah dan humoris lahir dan menjadi kesayangan kita semua. Ayah kini teman favorit anak-anak memiliki 3 fans setia :p. Duri yang sepi ternyata menyenangkan untuk dijelajahi bersama anak-anak..

Tahun demi tahun berlalu, hingga tujuh tahun sekarang, semakin menyakinkan saya. How lucky I am to have such a lovely husband. How lucky the kids to have a great father.

Untuk ayah tersayang,
Terima kasih untuk selalu berada di sini. Terima kasih untuk kesabaran seluas samudra, pengertian yang tak pernah habis, dan cinta yang tidak menuntut. We love you much!

Zaka 6 Taun

10 Januari 2009. Zakaa Aidan Ahmad 6 tahun.

Met ultah ya cowok gantengku. Semoga Allah senantiasa melindungimu, menghangatkan dan melembutkan hatimu, membangkitkan semangatmu, menajamkan akal pikiranmu, menguatkan keyakinan dan inderamu, membimbing jalanmu dan menempatkanmu dalam kebaikan dan kebenaran-Nya, selalu senantiasa..

Love
ibu, ayah, kishan

Mulih Ka Desa

Di Garut yang dingin, saya menemukan sebuah penginapan unik bernama Mulih Ka Desa.. Ketemunya juga ga sengaja. Awalnya berdasarkan rekomendasi teman dari Garut, penginapan yang asyik itu di Cipanas. Eh, ternyata semua kamar penuh! Heuheu.. belum rezeki. Dapat hotel yang lain, ternyata mati lampu. Karena sudah jam 8 malam, dan anak-anak sudah kecapekan, akhirnya saya ingat pernah membaca tentang Mulih Ka Desa. Thanks ya Tante Rosi, udah repot-repot nyariin no telp nya malem-malem :p.

Tempat ini benar-benar bernuansa pedesaan Sunda jaman dulu *paling enggak waktu saya kecil dulu*, dengan sawah dan balong berisi ikan, gubuk-gubuk beratap rumbia, suara kodok dan udara yang dingin menggigit di waktu malam.. brrrr.

Welcome drink nya berupa bajigur dan bandrek hangat ditemani pisang dan ubi rebus. Nyammm... disajikan dengan unik di gelas dan mangkok kaleng jaman jadul. Uh, jadi inget jaman duluu..

Anak-anak suka sekali 'berpetualang' di jalan sempit di antara sawah dan balong. Ada berbagai permainan juga seperti perosotan, jungkat-jungkit, sendal 'raksasa', egrang, sampai menyebrangi jembatan bambu dengan berpegangan pada tali. Oya, Zaka sempat kejebur di sini ha haa.. Pas kejadian mah dia MARAH BESAR, mungkin malu karena banyak orang di situ. Tapi sekarang kalau inget-inget itu dia pasti ketawa sendiri :p.


Kamarnya berupa pondok di atas balong atau sawah. Interiornya sih modern minimalis yang nyaman, dengan lantai dan dinding kayu dan kamar mandi yang unik karena berdinding semen dan letaknya di bawah kamar tidur. Rasanya tempat ini cocok juga untuk yang ingin berbulan madu :p.

Makanannya juga lezaaat.. cocok untuk lidah sunda saya :p. Disajikan unik di piring kaleng juga. Oya, di sini masakannya dimasak di atas tungku kayu bakar dan menggunakan panci-panci logam jadul..

Penginapan yang sekaligus restoran ini juga lumayan banyak pengunjungnya. Pengunjung restoran bisa bersantap di saung-saung bambu di atas kolam, diiringi suara kecapi dan suling.. sunda pisan :p.

Untuk yang ingin mencoba, lokasi Mulih Ka Desa ada di daerah Samarang, ke arah Kamojang, Garut dan ga jauh (sebelum) dari Kampung Sampireun. Mangga....

Setelah Liburan....

Akhirnya kami berlibur...! Hurray :p. Setelah ditunda beberapa kali, bahkan ga mudik waktu lebaran akhirnya kami liburan juga.. Ga jauh-jauh sih, cuman nengok para ortu di Cirebon dan Brebes, jalan ke Pekalongan, berkunjung ke kampungnya si teteh di Garut.. dan akhirnya ngabisin liburan di Bandung sambil nemenin ayah nyelesein tesisnya..
Cerita liburannya menyusul yah :p. Saya mau cerita tentang hebohnya 4 minggu tanpa assisten! Sewaktu masih di Duri (teteh mudik duluan) mah ga gitu terasa hebohnya.. maklum energi masih full hihi. Biar rada heboh setiap pagi, dan tiap hari kudu masak (walaupun si teteh nu bageur udah nyetokin berbagai menu siap goreng.. thanks ya Teh) dan beberes, masih enjoy karena sambil ngebayangin liburan di depan mata.

Waktu cuti juga masih terasa asik. Lha wong si ayah siap sedia setiap saat :p. Paling acara nyuapin anak-anak yang rada lama... Di awal liburan mah mereka gampang sekali makan, masih excited soalnya. Tapi makin lama... makin susaaaaah... di minggu terakhir liburan saya sudah sangat bersyukur kalo dalam 2 jam mereka makan setengah dari porsi biasanya. Si sulung yang ganteng masih lumayan, walaupun ogah makan nasi sendiri, tapi dengan sedikit bujukan masih bisa disuapin. Tapi Kishan.. huuh.. setiap kali nyuapin bener-bener perjuangan.. hiks.

Selama liburan, selain urusan makan yang heboh adalah urusan baju dan beberes koper. Anak-anak meni pada 'stylish' selama liburan.. setiap abis mandi pasti pada sibuk ngoprek koper cari baju yang paling... bukan, bukan paling keren.. tapi paling nyaman! Alhasil saya sampai beli 3 piama baru untuk mereka! Halah, ibunya mah pengen anak teh keren pas liburan, eh anak-anak malah hobi banget berpiama.. makin belel makin suka..

Untung banget ada laundry kiloan di bandung.. duh, ga kebayang kalo kudu nyuci sendiri, setumpuk baju kotor yang tiap hari makin banyaaaak...

Sepulang liburan, dengan energi habis.. yang paling saya inginkan adalah leyeh-leyeh baca majalah sambil nonton tv. Sayang, si teteh belum pulang mudik. Bibi yang biasa bantu nyetrika juga ga datang. Jadilah, sampai 4 hari setelah cuti saya jadi upik abu..

Beneran deh, asli, kerasa banget capeknya ngurus rumah dan 2 anak super aktif! Rumah dekiiiill kelamaan ditinggal.. baju-baju kotor numpuk di koper.. dan nafsu makan dan nafsu ngeberantakin anak-anak makin menggila begitu sampai di rumahnya sendiri *halah, hiperbolis amat ya*.

Beneran lo, anak-anak yang makannya susah minta ampun di hari-hari terakhir liburan, berubah menjadi pemakan segala di rumah! Saya sampai terharu saat Zaka menemukan donat yang umurnya sudah (hampir) 3 hari.. dan langsung habis! Huaaa.. kelaparan sekali kamu ya Nak. Padahal mereka makan nasi 4x sehari lo, walaupun dengan lauk pas-pasan karena ibu ga sepinter si teteh masaknya he he. Senengnyaa, alhamdulillah.. semoga berlanjut terus ya Nak.. ibu seneng banget liat anak-anak yang doyan makan :p.

Urusan beberes juga ga ada berentinya. Walaupun Zaka (dibantu Kishan) udah bisa disuruh 'bertanggung-jawab' kalo melakukan kesalahan. Tapi biasanya buntutnya jadi panjang. Misalnya dia bikin heboh di kamar mandi, sampai air banjir ke gang. Walaupun dengan senang hati mengepel hasil banjirnya, dan mengeringkan gang.. tau-tau banjir pindah ke ruang tengah karena dia bikin 'hujan busa' dengan ember pelnya. Atau, saat menaruh piringnya ke tempat cuci piring, 10 menit kemudian saya menemukan dia sedang 'mencuci' satu piring dan setengah dapur dengan sabun berbusa! Atau saat membereskan lego nya yang berantakan, tau-tau karpet jadi tergulung, kursi-meja bergeser, dan interior ruang tengah jadi berubah! Huahaaa.. mo marah.. tapi lucuuu.. :p.

Alhamdulillah kemaren teteh pulang. Duh, indah rasanya, bisa leyeh-leyeh sambil baca novel, dan duduk berlama-lama di depan komputer lagih :p. Walaupun resolusi 2009 di antaranya adalah (kudu, harus, mesti) bisa masak, tapi minggu ini saya mo 'cuti' dulu...

Oya, Met Taun Baru ya Semuanyaa.. semoga kedamaian di Palestina tercapai, krisis moneter cepat berlalu, dan semoga taun ini lebih baik dari taun-taun sebelumnya..