Salah satu hal unik di kompleks tempat tinggal saya adalah batas kecepatan maksimal untuk kendaraan bermotor. Di jalan-jalan utama kompleks kecepatan maksimalnya adalah 40 km/jam, sementara di kawasan perumahan adalah 30 km/jam. Peraturan ini ditegakkan dengan ketat, bahkan secara rutin ada razia yang dilakukan Security kompleks ini, untuk memastikan batas kecepatan dan berbagai aturan berkendaraan seperti penggunaan helm untuk sepeda motor, adanya SIM dll.
Awalnya, tidak mudah bagi saya untuk mengikuti aturan kecepatan tersebut. Apalagi saat saya harus menyetir 30 km sekali jalan dari kantor ke rumah dan sebaliknya. Berkendara di jalan yang sepi dan beraspal mulus, rasanya suliiit sekali untuk mematuhi batas kecepatan. Keinginan untuk cepat sampai di rumah biasanya membuat saya tergoda untuk menginjak gas dalam-dalam :p.
Setelah 5 tahun tinggal di Duri, saya makin terbiasa mengikuti aturan berlalu-lintas. Apalagi setelah sempat terkena razia satpam :p. Walaupun begitu, saya mengikuti aturan bukan karena takut terkena razia lo:p. Buat saya, aturan kecepatan sebenernya adalah kesempatan untuk belajar menahan diri. Belajar untuk hidup lebih tenang dan tidak terburu-buru. Kadang-kadang saya lupa, bahwa makin dalam gas saya injak sesungguhnya hanya memberi 5 menit tambahan.
Saya jadi terbiasa untuk selalu mengecek spedometer setiap kali menyetir. Rasanya sudah satu paket, tiap beberapa detik saya selalu menengok spedometer dan tiga spion. Aturan yang ketat di kompleks juga membuat saya (lebih) terbiasa untuk mengikuti rambu-rambu lalu lintas *kabarnya jumlah rambu di kompleks rumah saya lebih banyak dari jumlah seluruh rambu di kota kecil ini :p *.
Bukankah itu latihan? Latihan dalam kehidupan setiap hari. Tidakkah dalam hidup kita juga harus senantiasa mengikuti rambu? Rambu agama, etika, adat istiadat, rambu penerimaan oleh orang lain, bahkan rambu yang sangat halus berupa kata hati kita? Hm.. walaupun Indonesia sudah merdeka sejak 1945, walaupun liberte’ sudah diteriakkan sejak Revolusi Prancis ratusan tahun lalu, kebebasan seseorang akan selalu dibatasi oleh aturan dan manusia lainnya.
Saya juga bersyukur karena (hampir) selalu teringat untuk menengok spedometer setiap kali menyetir. Saya berusaha agar angka yang ditunjukkan maksimal satu garis di bawah 40, ada atau tidak ada razia :p. Mudah-mudahan hal itu merupakan latihan untuk belajar menahan diri dan selalu intropeksi. Menahan diri dari berbagai emosi yang kadang meluap, menahan diri untuk tidak selalu mengikuti keinginan, menahan diri untuk menjaga perasaan orang lain, menahan diri untuk tujuan yang lebih besar.
Apakah hati ini bisa menjadi spedometer hidup saya? Andaikan hati adalah spedometer, yang memberi informasi seberapa jauh saya mengikuti aturan-Nya. Mungkin hati harus sangat bersih dan putih, harus sangat ikhlas dan lapang, sehingga dapat selalu menuntun perilaku yang benar. Atau saya yang terlalu sering mengabaikan hati saya saat dia memberi peringatan, seperti saya mengabaikan spedometer saat berkendara di luar kompleks?
Akan jauh lebih sederhana jika aturan dalam hidup hanya sebatas maksimal 40 km/jam dan mengikuti rambu setiap seratus meter. Pada kenyataannya, beberapa jam/menit perhari yang saya habiskan dengan menyetir, baru melatih refleks kaki dan mata saya. Tidak pernah lagi saya menginjak gas dalam-dalam *kecuali saat menyetir di luar kompleks :p*.
Kenyataannya, hidup tidak sesederhana itu. Andaikan emosi dan hawa nafsu adalah pedal gas dalam bentuk cita-cita, ego, harga diri, ambisi dan membuat hidup kita makin berwarna, keseimbangan hidup adalah rem nya. Mungkin benar kata orang,”Jangan injak gas terlalu dalam!”. Safety first :p.
Awalnya, tidak mudah bagi saya untuk mengikuti aturan kecepatan tersebut. Apalagi saat saya harus menyetir 30 km sekali jalan dari kantor ke rumah dan sebaliknya. Berkendara di jalan yang sepi dan beraspal mulus, rasanya suliiit sekali untuk mematuhi batas kecepatan. Keinginan untuk cepat sampai di rumah biasanya membuat saya tergoda untuk menginjak gas dalam-dalam :p.
Setelah 5 tahun tinggal di Duri, saya makin terbiasa mengikuti aturan berlalu-lintas. Apalagi setelah sempat terkena razia satpam :p. Walaupun begitu, saya mengikuti aturan bukan karena takut terkena razia lo:p. Buat saya, aturan kecepatan sebenernya adalah kesempatan untuk belajar menahan diri. Belajar untuk hidup lebih tenang dan tidak terburu-buru. Kadang-kadang saya lupa, bahwa makin dalam gas saya injak sesungguhnya hanya memberi 5 menit tambahan.
Saya jadi terbiasa untuk selalu mengecek spedometer setiap kali menyetir. Rasanya sudah satu paket, tiap beberapa detik saya selalu menengok spedometer dan tiga spion. Aturan yang ketat di kompleks juga membuat saya (lebih) terbiasa untuk mengikuti rambu-rambu lalu lintas *kabarnya jumlah rambu di kompleks rumah saya lebih banyak dari jumlah seluruh rambu di kota kecil ini :p *.
Bukankah itu latihan? Latihan dalam kehidupan setiap hari. Tidakkah dalam hidup kita juga harus senantiasa mengikuti rambu? Rambu agama, etika, adat istiadat, rambu penerimaan oleh orang lain, bahkan rambu yang sangat halus berupa kata hati kita? Hm.. walaupun Indonesia sudah merdeka sejak 1945, walaupun liberte’ sudah diteriakkan sejak Revolusi Prancis ratusan tahun lalu, kebebasan seseorang akan selalu dibatasi oleh aturan dan manusia lainnya.
Saya juga bersyukur karena (hampir) selalu teringat untuk menengok spedometer setiap kali menyetir. Saya berusaha agar angka yang ditunjukkan maksimal satu garis di bawah 40, ada atau tidak ada razia :p. Mudah-mudahan hal itu merupakan latihan untuk belajar menahan diri dan selalu intropeksi. Menahan diri dari berbagai emosi yang kadang meluap, menahan diri untuk tidak selalu mengikuti keinginan, menahan diri untuk menjaga perasaan orang lain, menahan diri untuk tujuan yang lebih besar.
Apakah hati ini bisa menjadi spedometer hidup saya? Andaikan hati adalah spedometer, yang memberi informasi seberapa jauh saya mengikuti aturan-Nya. Mungkin hati harus sangat bersih dan putih, harus sangat ikhlas dan lapang, sehingga dapat selalu menuntun perilaku yang benar. Atau saya yang terlalu sering mengabaikan hati saya saat dia memberi peringatan, seperti saya mengabaikan spedometer saat berkendara di luar kompleks?
Akan jauh lebih sederhana jika aturan dalam hidup hanya sebatas maksimal 40 km/jam dan mengikuti rambu setiap seratus meter. Pada kenyataannya, beberapa jam/menit perhari yang saya habiskan dengan menyetir, baru melatih refleks kaki dan mata saya. Tidak pernah lagi saya menginjak gas dalam-dalam *kecuali saat menyetir di luar kompleks :p*.
Kenyataannya, hidup tidak sesederhana itu. Andaikan emosi dan hawa nafsu adalah pedal gas dalam bentuk cita-cita, ego, harga diri, ambisi dan membuat hidup kita makin berwarna, keseimbangan hidup adalah rem nya. Mungkin benar kata orang,”Jangan injak gas terlalu dalam!”. Safety first :p.
1 comment:
tul juga ya mbak, pasti kebanyakan orang refleksnya kalo jalan sepi ya tancep gas yah. razia di sana ketat juga mbak ?
Post a Comment