Monday, December 14, 2009

Sekolah tinggi-tinggi cuman jadi Ibu Rumah Tangga??

Komentar ini sering saya dengar sekarang, setelah pindah profesi jadi ibu rumah tangga (ibu RT) alias full time house wife (FTHW) atawa full time mom (FTM). Padahal sebenernya saya sekolah juga gak tinggi-tinggi amat sih, cuman S1. Di luar sana banyak juga kan ibu rumah tangga yang lulusan S2, bahkan S3.

Komentar lain yang sering saya dengar adalah, “Sayang ya, kerja enak-enak koq ditinggal, terus jadi di rumah aja?” Hm.. apa kerja itu selalu enak? Ah, tidak juga. Sama seperti semua profesi lainnya, apapun juga pasti ada enak dan tidak enaknya. Pekerjaan terakhir saya sebagai Engineer di sebuah oil service company memang menawarkan gaji yang lumayan plus lingkungan kerja yang menantang dan menyenangkan, tapi tetep we.. ada juga koq ga enaknya :p.

Saat bertemu dengan teman-teman orang tua komentarnya lain lagi, “Dulu kan rangking satu.. koq sekarang cuman di rumah saja?” Hihii.. kalau hanya si rangking 1 yang kerja, pasti banyaaak lowongan kerja di negara kita tercinta ini :p. Hare gene, prestasi tidak hanya diukur dengan rangking di kelas (apalagi rangking saat SD :p). Dan, seperti yang dituliskan di brosur-brosur investasi, “Kinerja saat ini dan sebelumnya tidak mencerminkan kinerja di masa datang :p”.

Intinya, saya merasa bahwa saat ini dalam masyarakat kita berkembang pemikiran bahwa wanita berpendidikan semestinya bekerja di luar rumah, mendapat penghasilan dan karier. Mungkin hal itu didorong oleh kondisi ekonomi yang semakin berat, biaya hidup dan pendidikan yang meningkat tajam sehingga keluarga dengan dua sumber penghasilanlah yang dianggap lebih ideal.

Berbeda dengan dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu. Ibu saya, yang mantan karyawan suatu bank pemerintah, pernah bercerita bahwa saat itu ibu-ibu lebih diharapkan tinggal di rumah untuk mengurus anak-anaknya. Seperti sistem keluarga di Jepang yang diidolakan, di mana para ibu total melayani anak dan suaminya di rumah, dan negara itu berhasil menjadi salah satu negara hebat setelah hancur oleh bom atom saat PD II. Dan ibu saya yang wanita bekerja (saat itu) sering mendapat pertanyaan, “Lalu anaknya siapa yang mengurus?”. Padahal kami, anak-anaknya, insya Allah baik-baik saja lo .

Hm.. dunia memang berkembang, dengan globalisasi dan sebagainya. Berbagai asumsi dan persepsi akan berubah, termasuk persepsi tentang seorang Ibu. Sebetulnya, apa sih yang membuat banyak persepsi negatif tentang ibu rumah tangga sekarang?

Apa karena asumsi bahwa ibu RT itu identik dengan penikmat sejati sinetron? Ah, tidak juga. Banyak teman saya yang (murni) ibu rumah tangga yang justru sangat selektif dengan kualitas tayangan televisi.

Apa karena ibu RT identik dengan arisan? Hm.. apa salahnya arisan? Saya pikir wajar jika beberapa kali dalam sebulan ibu-ibu meluangkan waktu untuk bercengkrama dan berinteraksi dengan orang dewasa lain, biasanya bahkan dengan membawa ‘rombongan’ balitanya.. Seorang ibu juga punya hak untuk menikmati sedikit kesenangan bukan?

Apa karena ibu RT biasanya berkonotasi doyan belanja? Mungkin beberapa. Tapi banyak yang lainnya merupakan pengelola utama keuangan keluarga yang dengan berbagai strategi finansial cerdas bisa memenuhi kebutuhan logistik keluarga.

Atau.. karena ibu RT identik dengan ke-tidak-produktifan secara finansial?

Padahal menjadi ibu rumah tangga adalah profesi yang berat. Setidaknya, itu menurut saya. Apalagi untuk ibu-ibu tanpa asisten alias maid. Bayangkan, dari subuh hingga malam harus stay tune, menyiapkan makanan untuk keluarganya, mengurus dan mendidik anak-anak, memastikan rumah nyaman, baju-baju bersih dan tersetrika, piring dan lantai bersih, tagihan rutin terbayar, kebutuhan dapur tersedia dan banyak lagi. Apalagi saat anak-anak masih sangat kecil atau sedang sakit. Pekerjaan yang tidak ada habisnya di siang hari harus ditambah dengan bergadang di malam hari.

Bagaimana jika dibalik, berapakah harga semua tugas yang dilakukan ibu RT itu jika dirupiahkan? Dan, apakah produktifitas hanya diukur secara materi? Bukankan sumbangan waktu, pikiran, dan energi yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain juga adalah hasil dari seseorang yang produktif?

Dan, apakah ada reward untuk semua pekerjaan rutin itu? Hm.. rasanya profesi ibu rumah tangga seperti IT Engineer untuk maintenance network. Saat semua baik-baik saja, itu memang seharusnya (baca: tidak ada reward), tetapi saat ada masalah baruuu… terlihat kesalahan dan ketidaksempurnaannya.

Siapakah yang menanggung beban moral paling berat saat ada masalah di rumah? Anak yang belum beres toilet training, kredit rumah belum terbayar atau suami yang sakit? Siapa yang paling pusing saat anak sulit makan, mendadak agresif atau mogok sekolah? Anda tahu jawabannya..:p.

Saya tidak mengeluh sih. Hanya, rasanya tidak adil jika profesi sebagai benteng rumah tangga, dan bertanggung jawab atas jiwa-jiwa muda yang berkembang, dengan kewajiban menyediakan rumah yang menjadi pelabuhan nyaman keluarga dilecehkan dengan kata-kata “.. cuman jadi ibu rumah tangga”.

Lagipula, menurut saya ibu RT atau bukan juga tergantung pilihan dan kesempatan. Tidak semua orang beruntung, bisa mendapat kesempatan yang sesuai dengan pilihannya. Banyaaak sekali ibu RT yang ‘terpaksa’ memilih profesinya karena berbagai keterbatasan.

Dan, percaya deh… banyak ibu RT hebat di sekeliling anda. Mungkin tidak hebat secara finansial atau karir, mungkin tidak memiliki profesi yang cemerlang. Tapi saya selalu percaya, bahwa setiap orang memiliki kehebatan dan keunikan tersendiri, apapun pilihannya.

Bagaimana menurut anda?


Ya, saya pendek

Memang, saya pendek. Saya tidak tinggi. Hanya 150 cm. Masih jauh dari rata-rata tinggi orang Indonesia yang (kabarnya) 160 cm. Walaupun pas dengan persyaratan untuk mendapatkan SIM alias Surat Ijin Mengemudi. Bisa repot saya jika sampai tidak lulus ujian SIM karena tinggi tidak memadai :p. Walaupun sampai sekarang hanya SIM A yang saya pegang, soalnya belum pede untuk mengendarai motor. Saya tidak pede kaki saya cukup panjang untuk menahan motor saat berhenti ;).

Ya, saya pendek. So what? Hal itu tidak mengganggu saya sekarang. Walaupun (hampir) setiap hari memakai high heels, bukan berarti itu karena saya tidak nyaman dengan tinggi badan saya. Tetapi karena kaki saya yang istimewa, lebih nyaman dengan high heels bertinggi minimal 5 senti hehe..


Dulu, berbelas tahun yang lalu, terutama di masa remaja, tinggi badan yang minimal itu memang sangat mengganggu. Ada masa-masa di mana saya bermimpi, alangkah indahnya andai Allah menciptakan semua manusia dengan tinggi yang sama. Manusia ditakdirkan memiliki dua tangan, dua kaki, dua mata.. mengapa tidak ditakdirkan memiliki tinggi badan yang sama? Karena keterbatasan ekonomi, waktu itu saya tidak bisa mengkonsumsi banyak susu dan vitamin yang katanya bisa meninggikan badan. Jadi saya bermimpi, bahwa suatu hari nanti para ilmuwan bisa menciptakan pil peninggi badan yang dijual bebas. Mereka telah menciptakan banyak sekali, dari obat cacing hingga obat kanker, kenapa tidak menciptakan pil peninggi badan :p.

Mungkin waktu itu saya masih di level terendah dalam hierarki kebutuhan Maslow hehe. Masih berkutat dengan kebutuhan fisik dan rasa aman, sebagai kebutuhan dasar manusia. Saat itu tingkat kehebatan buat saya adalah tinggi badan. Makin tinggi makin hebat, Itu termanifestasi juga dalam hidup sehari-hari saat itu, makanya binatang favorit saya adalah jerapah huahahaaa..

Menurut teori Maslow, manusia memiliki tingkat-tingkat kebutuhan yang memotivasi hidupnya. Kebutuhan yang paling mendasar adalah fisik, seperti makan, tidur, bernafas dan segala sesuatu yang berhubungan dengan fisik. Setelah itu adalah rasa aman. Seseorang yang merasa aman, akan merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan diri yang cukup. Seringkali, rasa aman ini terkait dengan penerimaan lingkungan terhadap diri kita.

Tidak bisa dipungkiri, sering kali penerimaan lingkungan sangat berhubungan dengan keadaan fisik seseorang. Terutama di masa remaja. Dengan bombardir iklan, sinetron, dan berbagai ajang tampil di televisi dan berbagai media lain, muncul stereotip bahwa yang lebih unggul adalah yang lebih cantik/ganteng, berkulit terang dan (tentu saja) tinggi. Bahkan iklan-iklan vitamin dan susu untuk anak juga menggambarkan bahwa anak yang lebih tinggi lebih disukai.

Makanya beberapa teman yang pendek (baca: tinggi badan sedikit di bawah rata-rata) akhirnya memiliki kekasih yang jauh lebih tinggi. Alasannya untuk perbaikan keturunan. Walaupun saya yakin, tinggi badan yang di atas rata-rata memang sangat memikat untuk kami-kami yang pas-pasan ;). Saya sendiri pernah mengalami love at first sight di masa remaja, pada seseorang yang paling tinggi di aula pertemuan tempat para mahasiswa baru berkumpul, di kampus baru saya. Rasanya waktu itu dia yang paling cemerlang di sana :p.

Dari yang pernah saya baca, wanita pendek memiliki pasangan tinggi itu biasa. Tapi pria yang lebih pendek dari pasangannya menandakan dia memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Soalnya ego pria biasanya menuntut untuk ‘lebih’ dari pasangannya, termasuk dalam hal tinggi badan. Bahkan Tom Cruise, salah satu manusia paling ganteng sejagat, kabarnya meminta Nicole Kidman untuk tidak memakai high heels saat masih menjadi istrinya. Padahal saya punya sahabat yang lebih tinggi dari suaminya dan hobi memakai high heels, tapi suaminya pede-pede saja. Mungkin rasa percaya diri suaminya ini lebih tinggi dari Tom Cruise ;).

Saya sendiri sekarang pede-pede saja dengan tinggi badan. Walaupun hobi memakai high heels, toh saya nyaman juga memakai sendal crocs yang datar. Rasanya setelah menjadi dewasa, dan memiliki makin banyak masalah untuk dipikirkan, tinggi badan hanya satu masalah kecil yang bisa diabaikan :p. Apalagi setelah berkeluarga, dan punya anak.. waaah.. anak yang tidak doyan makan atau mogok sekolah buat saya menjadi masalah yang jauh lebih besar daripada sekedar tinggi badan hahaa.. Menjadi dewasa memang menyenangkan :p.

Tentu saja, saya tetap ingin anak-anak saya memiliki pertumbuhan badan yang optimal. Walaupun ibunya pendek, kalau bisa anak-anak saya memiliki minimal tinggi badan yang normal. Anehnya mereka tidak doyan minum susu. Wah, itu peer besar buat saya. Saat si sulung mogok minum susu, selama dua tahun lebih saya selalu berusaha membujuknya dengan segala cara sampai akhirnya (alhamdulillah) dia kembali menyukai susu. Si bungsu sebelumnya sangat suka susu, ASI, sampai disapih di usia dua tahun. Setelah disapih, mulailah perjuangan saya untuk membuat si bungsu menyukai susu kotak/formula, dan masih belum berhasil nih.

Suami saya selalu berkata, “Kenapa harus tinggi sih? Jusuf Kalla dan Habibie juga pendek, tapi lihat kontribusinya kepada bangsa dan negara?” setiap kali melihat saya mulai ‘memaksakan’ susu pada anak-anak. Iya sih, kalau dipikir-pikir, manusia yang paling hebat adalah manusia yang paling bermanfaat untuk sesamanya, tidak masalah dengan tinggi badannya. Adalah tidak adil dan agak berbau rasis jika manusia dipilah-pilah berdasarkan struktur fisik tubuhnya. Wong tinggi badan itu karunia Allah yang tidak bisa dirubah lagi koq.

Lagipula saya yakin, kualitas seorang manusia tidak terbatas dari tinggi badannya. Setiap manusia pasti memiliki keunikan dan keunggulan tertentu. Kualitas tersebut bukan hanya dari fisik yang terlihat mata, tapi juga kecerdasan otak dan logika, keahlian dalam berolahraga atau memasak, kemampuan dalam bidang musik, bahasa, hubungan antar manusia, mengenali diri sendiri, hingga kejujuran, integritas dan kebersihan hati.

Pemikiran itu tidak menghentikan saya untuk tetap berusaha membuat anak-anak meminum susu mereka, dan menyediakan supplemen kalsium saat mereka ogah minum susu. Namanya juga ikhtiar. Hanya saya berusaha untuk selalu meluruskan niat, yaitu agar anak-anak saya selalu mendapat asupan kalori, gizi, vitamin dan mineral yang cukup, yang merupakan kewajiban saya sebagai ibu mereka. Bukan agar mereka menjadi anak-anak yang tinggi. Biar saya serahkan kepada waktu, bagaimana tinggi mereka nanti.

Peer yang lebih besar buat saya adalah membangun percaya diri mereka. Tinggi atau pendek, saya ingin mereka menjadi anak-anak dengan percaya diri yang kuat, hati yang bersih, berintegritas dan bermanfaat bagi diri mereka, keluarga dan lingkungan kelak. Doakan ya, semoga berhasil :).


buat ibu-ibu mothercare..
that's what i've got from our last meeting..
love you moms, keep sharing :)